Daun Yang Gugur : sebuah cerpen




Gadis itu mendongak, memandang berkeliling seraya merasakan semilir angin menyibak rambutnya. Semburat oranye hampir hilang sepenuhnya dari langit, digantikan dinginnya rona malam yang memesona. Ia menyukai ini, perasaan nyaman-bahkan hampir romantis- kota London yang tenang. 

Ia memperhatikan kerlap-kerlip lampu toko roti yang disambanginya tiap pagi, seakan menyampaikan salam perpisahan kepadanya seraya kerlip lemah lampu itu memadam, mengikuti pemiliknya beristirahat di akhir pekan. 

Ia menolehkan pandangannya ke cakrawala, dimana gedung-gedung pencakar langit mulai memperlihatkan daya tarik tersembunyinya- jutaan lampu aneka warna kompak menyala mempercantik indahnya malam tersebut.

Si gadis menyibak jaket wol-nya. Ia tidak akan pernah terbiasa dengan angin musim gugur. Hembusannya saja serasa menusuk tulang, itulah ekspresi yang ia gunakan jika ditanya tentang musim penghujung itu. Jika orang lain mengagung-agungkan keindahan daun-daun merah marun yang jatuh menjemput tanah, ia lebih suka menggambarkan ranting-ranting yang meranggas, bagaimana sepinya jalanan sore tanpa orang yang berlalu lalang, mereka terlalu sibuk menghangatkan diri masing-masing.

Entah kenapa, ia selalu berhasil menangkap sisi gelap segala sesuatu. Pandangan hidupnya sedari dulu agak suram. Salahkan semuanya kecuali aku sendiri, kira-kira itulah alasan yang akan kita dapat jika kita bisa masuk dalam pikirannya.

Jangan salahkan ia memilih hidup ini.

Jangan salahkan ia memilih untuk kabur, memutus kontak dari segala orang yang dia kenal.

Dia tidak peduli lagi. Dia sudah bahagia, dia seharusnya merasa bahagia sekarang.

Pemikirannya berhenti ketika ia merasakan getaran. Perlahan, ia mengangkat handphone-nya, menatap barisan angka yang muncul di layar.

Jemarinya lantas bergetar. Itu sebuah pesan dari orang nomor dua yang paling ingin ia hindari.

Ia menggigit bibir, menimbang-nimbang keputusannya. Lantas, seakan jemarinya tidak dapat dikontrol, ia menekan notifikasi itu.

Matanya dihadapkan pada sebaris kalimat pendek.

Tolong pulang segera. Mama sakit keras.

Ia dapat mendengar jantungnya bergemuruh. Selama hidupnya, ia tidak pernah tahu satu pun dari keluarganya yang memiliki penyakit berat. Mungkinkah…
Pikirannya lantas terpaku pada kalimat pertama. Pulang segera. Dengan kata ‘tolong’ dengan jelas mengawalinya.

Ini hal baru. Pertama kalinya ayahnya- ya, dia yakin itu nomor ayahnya. Dia selalu ingat walau tidak ingin- memohon kepadanya. Selama ini, yang ia lakukan hanyalah memerintah, memerintah dan memerintah. Bahkan sebaris permohonan itu mengandung perintah, perintah tersulit ayahnya selama ini.

Ia tidak ingin pulang. Ia sudah jatuh hati. Ia merasa nyaman disini, sendirian, tanpa bayangan orang lain. Tanpa kekangan dan ekspektasi siapapun. Lagipula, dia sudah tidak diterima di keluarganya. Bagaimana mungkin ayahnya menginginkan dia kembali?

Jemarinya yang mengetik pesan balasan terhenti. Tidak, dia tidak akan melakukannya lagi. Dia tidak akan menurut demi ayahnya. Si gadis mengetuk tombol kembali, lantas memasukkan handphonenya seakan tidak terjadi apa-apa. Dia merapikan rambutnya ke belakang telinga dengan gusar, berjalan cepat menuju halte bis.

Ia tidak sadar hatinya semakin mengeras seiring ia melangkah.

Napasnya terengah-engah ketika ia menghempaskan diri diatas kursi, salahkan dirinya yang melamun sampai ia harus berlari mengejar bis terakhir malam itu. Ia mengatupkan rahangnya kuat-kuat, merasakan air mata mulai mengumpul di pelupuk matanya.

Ketika ia tahu bahwa ia diterima di salah satu universitas ternama Inggris, hari dimana ia akan pergi jauh, tidak pernah dia merasa segembira itu. Ia merasa menang. Akhirnya, ia akan menjalani kehidupannya sendiri. Semua ada dalam kontrolnya.

Namun, sekarang semuanya berbalik. Memori itu seakan menertawakannya, menyeretnya pada kenyataan bahwa ia malah merasa hampa. Semua hal yang telah diusahakannya, semua hal yang telah diraihnya, kini tidak berarti apapun. Ia tetap merasa takut. Ia masih hidup dalam kekangan.

Matanya menutup, mencoba mengusir gambaran-gambaran memori yang bermunculan.

Semuanya bermula ketika adik kecilnya lahir. Kalau kau melihatnya, kau pasti jatuh hati pada pandangan pertama, begitu pikirnya. Matanya bulat, kulitnya bersih, dan tubuhnya sangat lucu, apalagi saat ia berada dalam lilitan selimut. Si gadis, walaupun usia mereka terpaut jauh, pada saat itu antusias sekali ingin menggendong adik bayinya.

Sedikit yang ia tahu bahwa itu semua akan berubah..

Ia ingat, pandangan mata adiknya saat itu. Tidak sekalipun adiknya melakukan kontak mata dengannya. Tidak sekalipun.

“Ila..,” ia memanggil-manggil adiknya dengan lembut, berkali-kali. Yang bernama tidak pernah menengok, tingkahnya seakan tidak mengenali si gadis sebagai kakaknya.

“Ila,” sergahnya lagi, kali ini nada suaranya meninggi. Ia menarik ujung baju adiknya, berharap kali ini ia akan menoleh.

“Jangan kasar sama adekmu!” tiba-tiba tangannya ditepis dengan keras, matanya dihadapkan dengan wajah merah padam ibunya  “Enggak usah ya, kamu membuat mama tambah repot!”

“Ta-tapi,” ia berusaha memotong perkataan ibunya, berusaha menjelaskan bahwa ia hanya ingin menatap wajah adiknya.

“Enggak ada tapi-tapi! Kamu kecil-kecil udah kasar. Mau jadi apa nantinya?” Ibunya malah menghardik lebih kencang, matanya menatap tajam kearah si gadis.

Ia diam seribu kata, memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Matanya berkaca-kaca, siap menumpahkan segala emosi yang ia pendam. Ketika ibunya menoleh, memeluk adiknya dan menumpahkan kata-kata mengibur, barulah air matanya menggelontor membasahi pipinya.

Tapi peristiwa itu belum seberapa. Semakin hari, hardikan yang diterimanya semakin keras. Kata-kata yang disemburkan kepadanya semakin menyakitkan hati. Dan adiknya, terutama adiknya, terasa semakin jauh darinya.

Umurnya sudah memasuki 2 tahun, namun sepatah kata pun belum keluar dari mulut mungilnya. Jangankan mengenal orang lain, melakukan kontak mata dengan Ila saja tidak bisa.

Kelainan, itu yang orang-orang bisikkan setiap mereka mengunjungi adiknya.
Down Syndrome, itulah yang ia ketahui dari hasil mencuri pandang buku konsultasi dokter.

Ia tahu, orang-orang memandang adiknya berbeda. Beberapa bahkan melempar tatapan kasihan, berjengit, saat mereka menjulurkan kepala, melihat wajah adiknya yang sedang tidur dalam keranjang bayi. Ia hanya tidak mengerti kenapa mereka melakukannya.

“Ma,” panggilnya kepada ibunya yang sedang sibuk berbicara pada salah satu tamu. “Ma,” panggilnya lagi, menarik ujung kaus ibunya. “Kenapa muka mereka aneh saat melihat Ila? Dia cantik kan, ma? Memangnya Ila kenapa?”

Tamu di hadapan ibunya melemparkan senyum kasihan kearah si gadis. Rahang ibunya menegang, tampak ia menahan emosi yang berlebihan. Lantas dicengkramnya lengan si gadis dan ia dibisikkannya kata-kata yang akan terus diingatnya.

“Jangan buat mama malu.” Empat kalimat itu terdengar dingin di telinganya.

Ketika adiknya sudah memasuki umur balita, barulah ia mengerti.
Mata ila tidak seperti orang kebanyakan. Meskipun keduanya sedikit miring, bagi si gadis mata adiknya sangatlah indah.

Telinganya lebih kecil dari yang seharusnya, tapi apakah itu masalah buatnya?

Meskipun ekspresi wajahnya datar-datar saja, bagi si gadis itu tidak mengurangi kecantikan adiknya.

Sayangnya, Ila membutuhkan perhatian lebih dari normal. Ia adalah pusat dari gravitasi, menarik tenaga dan emosi ayah dan ibunya.

Sedangkan si gadis, Ia adalah bintang yang sekarat, menunggu waktu hingga ia akan meledak menjadi supernova, dan setelah itu hilang. Kepingan-kepingan yang menyusun dirinya akan lenyap. Orang-orang tidak akan tahu dia ada, pun tidak ada yang ingin mengenangnya, karena ia adalah sebuah bintang biasa. Ia bukanlah bintang yang besar, bukan bintang dengan pancaran paling terang, bukan juga yang paling panas.

Namun, orang-orang melupakan fakta bahwa ia adalah, atau dahulu merupakan, pusat dari galaksinya.

Malam itu si gadis berbaring diatas kasur empuknya, berharap ia dapat menghapus semua itu, berharap ia tidak pernah dikenal sebagai bintang yang telah hancur.

. . . . . . . .

Selang dua bulan. Ia tahu, sudah berminggu-minggu sejak terakhir ayahnya mengirimkan pesan singkat itu. Sudah dua bulan pula ia tidak merespon, hanya diam bertanya-tanya bagaimana ayahnya bisa mendapatkan nomor barunya. Sial, bagaimana kalau ayahnya menelepon kampus untuk mendapat informasi?

Dengan cepat ia membuka kontaknya, menimbang-nimbang apakah ia perlu membeli nomor baru.

Tangannya hampir terjatuh ketika tiba-tiba notifikasi baru muncul di layarnya.
Itu ayahnya, mengirimkan pesan baru dari nomor yang persis sama. Kali ini, meskipun ketakutan masih menggelayutinya, tanpa ragu ia membuka pesan itu.

Mama sudah tidak ada.

Lidahnya kelu, bibirnya terasa dingin. Nafasnya tiba-tiba terasa berat. Ia merasa sakit, entah kenapa kakinya tiba-tiba tidak mempunyai tenaga. Ia jatuh terduduk, badannya menghempas kearah bangku taman.

Ibunya. Ibu kandungnya, yang dulu sering membuatnya tertawa.

Ibunya yang sangat menyayangi Ila, persis seperti ia menyayangi adiknya.

Ibunya yang tidak pernah sadar akan niat baiknya, yang membuat hubungan mereka memburuk.

Sosok itu telah tiada.

Dengan gemetar si gadis mencari nomor telepon pamannya, satu-satunya nomor anggota keluarga yang ia simpan. Nomor itu tidak pernah ia gunakan, hingga sekarang.

Nada dering terdengar jelas ketika ia mengangkat handphone-nya dengan dua tangan, jemarinya terlalu tremor, ia takut menjatuhkan benda itu.

“Halo,” suara khas pamannya menyahut setelah sekian lama ia menunggu.

“Ini-Ini Febi,” balasnya, nyaris tidak terdengar. Suaranya bergetar ditelan angin musim dingin.

“Febi,” suara pamannya diwarnai rasa kasihan, namun nadanya terdengar hampir bangga-bahkan puas- seakan momen ini sudah ia tunggu. “Paman, bukan cuma paman, kami semua menunggu kamu pulang.”

Si gadis berusaha menghentikan isakannya, menyembunyikan mukanya dibalik tangan. “Fe-Febi tahu,” ia berusaha membuat suaranya jelas.

“Tunggu,” nada bicara pamannya melembut. “Ada yang ingin bicara..”
terdengar suara gemerisik telepon yang berpindah tangan.

“Kakak..” suara mungil itu tiba-tiba terdengar. Seumur hidupnya, si gadis hanya pernah mendengarnya sekali. Isakannya terdengar semakin kencang ketika ia sadar siapa yang berbicara. Ia kini mendengarnya untuk yang kedua kali. “Kakak, aku kangen..”

“Kapan kakak pulang?”








Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer